- KONSEP MEDIS
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun.
Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang mengyangkut saraf perifer dan kranial.
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simapatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Sering kali pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestesia.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2 gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik
3. saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena paralis dan laringeus
4. gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu.
5. kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita
6. papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
Pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa hari).
Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahat dan perkembangan sinrdom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis dan pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Distrimia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di obati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal dan terapi fisik.
Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.
a. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot.
b. pertukaran plasma
pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang di keluarkan per excange adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x excahange
c. kortikostiroid
walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada GBS masih di ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian kortikostiroid pada vase dini penyakit mungkin bermanfaat
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang penderita meninggal oleh karena kegagalan pernasan. Sekarang ini berkisar antara 2-10%,deangan penyebab kematian, oleh karena kegagalan pernasan, ganggan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita 60-80% sembuh secara sempurna dalam waktu 6 bulan. Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 21 bulan dengan motorik ringan dan atrofi otot kecil di tangan dan di kaki. Kira- kira 3-5% penderita mengalami relaps
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
Aktifitas dan istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris, yang biasanya dimulai pada ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.
Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksit (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi)
Distrimia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
Integritras ago
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : tampak takut dan bingung
Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter
Makanan/cairan
Gejala : kesilitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : gangguan pada refleks menelan
Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terius naik (distribusi stoking atau sarung tangan)
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan
Tanda : hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial),
kehilangan kemampuan untuk berbicara
Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan.
Pernapasan
Gejala : kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea. Penurunan atau hilangnya bunyi napas
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
Keamanan
Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda serangan
Adanya riwayat terkena herpezoster, sitomegalo virus
Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot paralisis atau parestesia
Interaksi sosial
Tanda : kehilangan kemampuan untk berbicara atau komunikasi
Penyuluhan pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran napas atas, gastroentritis) vaksinasi ( campak. Polio); keadaan kronis ( lupus erotematosus ), penyakit hodgkin/proses keganasan. Pembedahan/anestesia umum, trauma
Pertimbangan
DRG menunjukan berapa lama perawatan : 6 hari
Rencana pemulangan : mungkin pasien memerlukan bantuan menganai transportasi, penyiapan makanan, perawatan diri, dan kewajiban pekerjaan rumah. Mungkin perlu memerlukan perubahan pada teteruan dan bentuk rumah, pemindahan pusat rehabilitasi.
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas efektif
Intervensi
Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik
b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon
R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat berbicara.
R/ : merupakan inikator yang baik terhadap gangguan fungsi pernapasan/menurunnya kapasitas paru
d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia)
e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret
Kolaborasi
f. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan untuk/keefektifan dari intervensi
g. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
h. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural
R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret dan meningkatkan ekspansi alveoili paru.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan transmisi
Tujuan/kriteria hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau orentasi umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/ komlikasi sensori.
Intervensi
Mandiri
a. pantau status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon terhadap perintah yang sederhana dan berspon terhadap stimulasi nyeri
R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan secara perlahan.
b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap trauma termal)
R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien.
R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping
d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan
R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan.
e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut, televisi( berita atau pertunjukan )
R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan
f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga
R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien ( menurunkan perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut
kolaborasi
g. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara
R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis
i. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan
R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien
j. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi melalui intra vena.
R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat
3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak ada.
Intervensi
Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer.
b.pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu ( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur
R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia
Kolaborasi
e. berikan pengobatan :
- cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi
R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
- beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
Intervensi
Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi.
Kolaborasi
e. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI
Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi
Intervensi
Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya
b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri
f. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
g. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
f. pasang /pertahankan selang NG.
R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi
Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.
R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten
R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyebuhan /perbaikan
Kolaborasi
e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
7. nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parestesia, disestesia)
Tujuan/kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi
Mandiri
a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10
R/ : meenganjurkan pasien untuk “ melakolisasi/ mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukan adanya perubahan
b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di rasakan
R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut
c. lakukan perubahan posisi secara teratur
R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot
d. berikan latihan rentang gerak secara pasif
R/ : menurunkan kekuan pada sendi
e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton), latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi
f. R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
g. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik
R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang memiliki efek yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan
8. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengingat, keterbatasan kognitif
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
Intervensi
Mandiri
a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi
R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan
b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya
R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat pilihan informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi
c. anjurka untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya
R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada
d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik secara individual
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi yang sebenarnya masih dapat di cegah
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta