Subuh malam kemarin waktu Paris, ketika membuka komputer, saya dikagetkan oleh
posting yang dikirimkan oleh Julia Suryakusuma [wahana-news, 22 Februari
2005]mengenai meninggalnya Semsar Siahaan. Posting Julia berikut yang
bersubyek: "Berita duka: Semsar Siahaan Meninggal" saya baca berulang-ulang.
"Teman2,
Kira2 setengah jam y.l. saya mendapat sms dari Firman Ichsan yg memforward
pesan dari kawan Semsar, Lorens Tampubolon, bahwa Semsar meninggal di Bali
karena serangan jantung. Tiada teman atau saudara di Bali. Bagi yg mengenal,
tolong beritahu familinya. Terimakasih.
Semsar adalah seorang pelukis dan aktivis yang karyanya selalu mencerminkan
pembelaannya pada rakyat. Kita kehilangan seorang seniman Indonesia dan
sahabat.
Semoga Semsar menemukan kedamaian di sisiNya.
salam,
Julia"
Saya baca berulang-ulang untuk meyakini kebenaran posting tersebut. Tapi saya
dipaksa percaya karena mengenal Julia bukan orang yang suka menjadikan duka
dan kesedihan seseorang sebagai bahan percandaan. Rasa sedih jadi berganda
ketika tidak lama kemudian, saya juga membaca berita tentang meninggalnya Mas
Kuntowijoyo. Terlalu berat rasanya harus menerima kematian dua seniman dengan
komitmen manusiawi sekaligus dalam usia relatif belum terlalu tua, apalagi bagi
usia Semsar.
Oleh perbedaan ruang di mana kami tinggal, Semsar dan saya memang jarang sekali
bertatatapan muka, tapi melalui berbagai cara, hubungan kami terjalin sejak
lama, terutama pada tahun-tahun awal kegiatan Skephi. Melalui berbagai cara
kami melakukan saling hubungan sehingga kami bisa saling mengikuti kegiatan
masing-masing. Melalui cara khusus ini pulalah saya mengikuti perkembangan
Semsar sebagai pelukis sejak agak dini dan terus mengikuti perkembangannya.
Keith Foulcher, pengamat sastra-seni Indonesia dan Indonesia dari Australia,
secara khusus pernah membicarakan perkembangan Semsar sebagai gejala khusus
dalam perkembangan seni Indonesia post Lekra. Keith sangat menghargai Semsar.
Yang sangat menarik Keith dalam diskusi kami adalah tema-tema buruh dan tani
yang menjadi tema garapan Semsar. Tentang hal ini, saya katakan walau pun saya
menyetujui langkah-langkah Semsar tapi saya lebih cenderung membebaskan
sastra-seni Indonesia dari slogan apa pun, sehingga kritik menjadi ruang dialog
dan berkembang leluasa bagi berbagai aliran. Dengan ini, yang ingin saya
katakan bahwa sastra-seni untuk buruh dan tani, juga sastra-sni untuk
rakyat, tidak lain dari satu aliran pandangan saja, tapi bukan satu-satunya
aliran. Sehingga tidak perlu pandangan satu aliran dijadikan garis budaya
nasional yang dimestikan. Apabila Semsar mempunyai sikap dan pi
lihan tertentu dalam berkesenian, sikap dan pilihan itu adalah hak Semsar,
sebagaimana halnya orang lain sama berhak mempunyai sikap dan pilihan lain.
Saya sangat menghormati kesetiaan Semsar akan pandangan, sikap, praktek dan
pilihannya dalam berkesenian.
Dari praktek yang dilakukan oleh Semsar sampai akhir khayatnya, Semsar
sedikitpun tidak bergeming dari sikap dan pilihannya dalam berkesenian,
sampai-sampai ia sanggup menghadapi ujung bayonet maut militerisme hingga
kakinya patah kenal gebuk militer. Kesanggupan seorang seniman membela prinsip
hingga di hadapan ujung bayonet ajal mempunyai nilai sendiri seperti penyair
hilang Wiji Thukul membela nilai kerakyatan junjungannya. Nilai begini akan
lebih menonjol jika dibandingkan dengan sikap seorang penyair minta izin untuk
takut dan tiarap ketika bangsanya dikuasai otoritarianisme dan militerisme.
Lebih bernilai lagi jika dibandingkan dengan mereka para seniman yang bergabung
dengan otoritarianisme dan militerisme.
Melalui kegiatan dan karya-karyanya, Semsar sampai akhir hidup meneruskan
tradisi seniman kerakyatan Indonesia yang tak bergeming berpihak kepada rakyat,
kepada mayoritas penduduk negeri ini.Melalui praktek Semsar sampai akhir
khayatnya, saya tidak ragu menamakan Semsar adalah salah satu seniman rakyat
dan bangsa yang terbaik. Apa yang dilakukan oleh Semsar baik melalui kegiatan
kongkret atau pun melalui karya-karyanya sampai akhir khayat merupakan teladan
dan warisannya kepada bangsa, negeri dan kemanusiaan.Kehidupan singkat Semsar
merupakan pesan dan esai kebudayaan alternatif yang ia tawarkan untuk bangsa
dan negerinya. Melalui esai budaya hidupnya, Semsar sebagai pemikir
menganjurkan agar "Indonesian modern art should return to reality".
"Should return to reality" artinya Semsar melihat bahwa "Indonesian modern art"
hari ini jauh dari "reality". Dengan pendapat bahwa "Indonesian modern art
should return to reality" ini Semsar menunjukkan apa dan di mana serta
bagaimana kedudukan sastra-seni dalam masyarakat di samping mengucapkan
sekaligus bagaimana ia melihat sastra-seni Indonesia hari ini. Saya kira inilah
esai warisan hidup yang ia tinggalkan untuk kita. Esai kehidupan yang ia
ujudkan melalui perbuatan bukan hanya bersifat verbal. Kehidupan Semsar adalah
kesenimanan yang utuh, kehidupan yang penuh elan. Dengan elan manusia dan
seniman sadar begini, Semsar telah memberikan makna maksimal pada hidupnya yang
terlalu singkat. Dari tengah tumpukan salju di jalan rantauku, dengan kesedihan
orang kehilangan, saya menundukkan kepala untukmu Semsar. Di tengah gigil
kembaraku, bisakah kau melihat aku kemudian mengangkat kepala
dengan tangan tangan kiri mengepal sejajar telinga? Juga untukmu! Semsar
adalah seniman dengan segala makna!
Paris, Februari 2005.
--------------------
JJ.KUSNI