Musim Depan IPL bakal ‘lebih’ membosankan."
GIL - Kompetisi Indonesian Premier League (IPL) belum menunjukkan adanya perubahan besar musim depan. Hingga kini PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) belum melakukan terobosan-terobosan baru untuk meningkatkan kualitas kompetisi resmi milik PSSI ini.
Tidak adanya inovasi, minim kreatifitas, sekaligus rendahnya komitmen meningkatkan mutu kompetisi
membuat IPL tenggelam dalam bayang-bayang liga tetangga, Indonesia Super League (ISL). Dipandang dari berbagai aspek, sejauh ini IPL jelas masih berada di bawah ISL.
Jika sampai jelang kompetisi nanti tidak ada terobosan-terobosan strategis, saya memprediksi IPL musim depan bakal semakin membosankan. Kompetisi yang rencananya diikuti 16 klub, musim lalu 12 klub, sama sekali tak menjanjikan dari sisi bisnis.
Rendahnya kualitas klub kontestan menjadi garansi awal bahwa IPL tidak begitu disukai publik. Coba hitung, berapa klub yang layak simak di IPL? Mungkin hanya klub besar macam Persebaya Surabaya atau PSM Makassar. Atau Arema FC yang secara finansial mampu membuat tim kompetitif.
Persaingan musim depan kemungkinan hanya antara tiga klub itu setelah Semen Padang boyongan ke ISL. Sedangkan pertandingan-pertandingan lain hanya menyajikan pertemuan klub-klub kecil dengan pendanaan seret serta kualitas pemain yang begitu-begitu saja.
Jika kondisinya seperti itu, sudah jelas dari sisi bisnis IPL mempunyai prospek suram. Tanpa ada peningkatan kualitas, PT LPIS bakal kesulitan mendapatkan televisi yang mau menyiarkan kompetisi. MNC Grup sudah merasakan bagaimana duka menjadi pemegang hak siar IPL.
Musim lalu, menurut saya MNC telah melakukan blunder dengan menjadi pemegang hak siar IPL. Dari berbagai aspek, televisi harus berhitung ulang seribu kali sebelum menyiarkan kompetisi yang kontestannya nyaris bangkrut semua ini. Pertimbangan pertama adalah supporter.
Hanya segelintir klub IPL yang memiliki supporter besar, paling hanya Persebaya Surabaya yang mendominasi. Di Indonesia, penonton siaran sepakbola mayoritas adalah supporter klub tertentu. Tak seperti sepakbola Eropa yang dinikmati berbagai kalangan, bahkan oleh orang yang awam sepakbola sekalipun.
Minim supporter, stadion sepi, kualitas kompetisi rendah. Tiga aspek itu sudah cukup untuk membuat pemegang hak siar bangkrut. Situasi stadion yang senyap saat pertandingan secara tak langsung akan mengurangi gengsi pertandingan, termasuk menurunkan ‘gairah’ penonton yang menyaksikan melalui
televisi.
Saya kurang tahu pasti, apakah IPL ini diproyeksikan lebih bermutu atau cukup digelar apa adanya sambil menunggu penyatuan dengan ISL. Yang pasti saya belum melihat adanya langkah atau kebijakan yang mengarah pada peningkatan kualitas kompetisi. Molornya jadwal kompetisi hingga Februari sudah menjadi bukti.
PT LPIS juga masih banyak memiliki hutang musim lalu terkait kualitas kompetisi. Hutang paling besar adalah penyusunan jadwal kompetisi yang porak poranda musim lalu, serta kualitas wasit yang rendah. Dua aspek itu harusnya menjadi daftar pekerjaan rumah (PR) paling atas yang diselesaikan.
Tak kalah menarik adalah menunggu bagaimana komitmen konsorsium dalam pendanaan sebagian klub-klub IPL. Setelah musim lalu klub ‘dibangkrutkan’, musim depan kembali menjadi pertanyaan besar, apalagi kebutuhan klub jelas meningkat dengan lebih banyaknya kontestan liga.
Belum lagi klub-klub Divisi Utama yang kini tidak memiliki pemain setelah terminasi kontrak pada September silam. Kompetisi kasta kedua ini bahkan belum sempat dipikirkan dan tidak jelas bagaimana kualitasnya musim depan dengan banyaknya klub yang pailit.
Logikanya, dengan kompetisi yang tak layak jual, berapa lama lagi konsorsium mampu menanggung kerugian besar dengan mendanai klub-klub yang tidak menghasilkan itu. Akankah klub dibiarkan
terlantar di tengah musim yang lagi-lagi mengorbankan pemain? Kita lihat saja nanti.