-=Selamat Datang di Giar Jovian Media=-

Anda baru disini?
Untuk melihat seluruh isi Website ini silahkan klik "Register" dibawah ini untuk mendaftar di Website ini!

Anda telah terdaftar disini?
Silahkan klik "Login" dibawah ini untuk masuk kedalam Website!
Terima Kasih!

Regard's,

:: Giar Jovian ::
-=Selamat Datang di Giar Jovian Media=-

Anda baru disini?
Untuk melihat seluruh isi Website ini silahkan klik "Register" dibawah ini untuk mendaftar di Website ini!

Anda telah terdaftar disini?
Silahkan klik "Login" dibawah ini untuk masuk kedalam Website!
Terima Kasih!

Regard's,

:: Giar Jovian ::
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


 
IndeksGalleryPencarianLatest imagesPendaftaranLogin

 

 Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS)

Go down 
PengirimMessage
ADMIN
COMMANDER
COMMANDER
ADMIN


Jumlah posting : 1780
Join date : 20.10.10
Age : 30
Lokasi : Lamongan
Pisces Dog

Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS) Empty
PostSubyek: Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS)   Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS) Empty29th March 2014, 9:02 pm

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi
Penyakit akut atau lebih tepat subakut yang lambat laun menjadi paralitik dengan penyebab yang belum jelas, namun teori saat ini mulai terarah pada proses imunologik.
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
o polineuritis akut pasca infeksi
o polineuritis akut toksik
o polineuritis febril
o poliradikulopati,dan
o acute ascending paralysis.

2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

3. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

4. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a. Infeksi
o Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya
o Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie)
o Vaksin : rabies, swine flu
o Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik:
o keganasan, Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma
o systemic lupus erythematosus
o tiroiditis
o penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.

Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB

Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMVEBV HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox InfluenzaMeaslesMumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri CampylobacterJejeniMycoplasma
Pneumonia Typhoid Borrelia BParatyphoidBrucellosis
Chlamydia
Legionella
Listeria

5. Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
a. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
b. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
c. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

6. Patofisiologi
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

7. Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.



8. Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia

9.Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
a. Gejala Klinis
1.Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2.Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3.Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4.Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .












6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
7. Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu .
Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu .
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
c .Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
o Distal motor retensi memanjang
o Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
o Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .

10. Penatalaksanaan
a.Terapi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
o Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
o Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
o 6 merkaptopurin (6-MP)
o Azathioprine
o cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
b. Perawatan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke

11. Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
o pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
o mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
o progresifitas penyakit lambat dan pendek
o pada penderita berusia 30-60 tahun

12. Komplikasi
a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic
b. Tetraparese oleh karena penyebab lain
c. Hipokalemia
d Miastenia Gravis
e. Adhoc commite of GBS
f. Tick Paralysis
g. Kelumpuhan otot pernafasan
h. Dekubitus

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa
o Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
o Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
o Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
b. Pemeriksaan Fisik
o B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
o B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
o B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
o B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
o B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
o B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

c. Pengelompokan data
Data subjektif:
o Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
o Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
o Tidak mampu menelan air liurnya
o Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
o Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
o Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
o Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
d. Analisa Data
Data Masalah Etiologi
DS:
 Tidak mampu menelan air liurnya
DO:
 Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler
 Bunyi paru wheezing +/+
 Pengembangan dada tidak maksimal
 GDA kurang dari normal
 menggunakan ventilator Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Kelemahan otot-otot bantu pernapasan
DS:
 Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
DO:
 Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
 Kekuatan otot imobilisasi Paralisis

2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
c. Ketidakefektifan pola nafas
d. Ggn komunikasi verbal
e. Resiko tinggi terjadi infeksi
f. Resiko terjadi trauma
g. Resiko terjadi disuse syndrome
h. Kecemasan pada orang tua

3. Rencana keperawatan
a. Dx 1. Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
o Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
o Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
o Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
o Monitor status hidrasi
o Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
o Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

b. Dx 2 Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
o BGA dalam batas normal
o Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
o Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
o Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
o Monitor SpO2 setiap jam
o Monitor respirasi dan cyanosis
o Kolaborasi :
 seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
 SAnalisa hasil BGA

c. Dx : Resiko tinggi terjado infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
Tanda-tanda infeksi (-)
 leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
 Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)


Tindakan
o Rawat ETT setiap hari
o Lakukan prinsip steril pada saat suction
o Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
o Ganti kateter setiap 72 jam
o Kolaborasi :
 Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
 Penggantian insersi surflo dengan vanocath
 Pemeriksaan leuko
 Pemeriksaan albumin
 Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

d. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
o Kontraktur (-)
o Nutrisi terpenuhi
o Bab dan bak terbantu
o Personal hygiene baik
Tindakan:
o Bantu Bab dab Bak
o Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
o Mandikan klien setiap hari
o Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
o Berikan latihan pasif 2 kali sehari
o Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
o Monitor status neurologi setiap 8 jam
o Kolaborasi:
 Alinamin F 3 X 1 ampul
 Sonde pediasuer 6 X 50 cc
 Latihan fisik fasif oleh fisiotherapis

e. Dx. Kecemasan pada orang tua b.d ancaman kematian pada anak serta perawatan yang lama
Tujuan :
Setelah dirawat klien dapat menerima keadaan dan kooperatif terhadap tindakan yang akan dilakukan
Tindakan :
o He tentang penyakit GBS, perjalanan penyakit dan penanganannya.
o He tentang perawatan dan pemasangan alat perawatan alternatif sehubungan dengan proses perawatan yang lama seperti pemasangan tracheostomi dan vanocath
o Meminta agar keluarga mengisi informed konsen dari tindakan yang akan dilakukan oleh petugas


Kepustakaan

1. Brunner and suddart, Medical practical nursing, 1st edition, 2002
2, Dr. dr. Eddy Raharjo,Sp.An . Manual practical of anastesia, Airlangga unerversity,1999.
3. Husni tanra, prof.dr,Sp.An(K), neurofisiologi of brain for Guillan barre sindroma, Hasanuddin unerversity,2003
Kembali Ke Atas Go down
http://jovian.yours.tv
ADMIN
COMMANDER
COMMANDER
ADMIN


Jumlah posting : 1780
Join date : 20.10.10
Age : 30
Lokasi : Lamongan
Pisces Dog

Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS) Empty
PostSubyek: Re: Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS)   Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS) Empty29th March 2014, 9:04 pm


  1. KONSEP MEDIS



Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun.
Guillain Barre Syndrom (GBS) merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak diketahui yang mengyangkut saraf perifer dan kranial.
GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, ternfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau dua minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.

Paling banyak pasien-pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses.
Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang
Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan.
Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya.
GBS merupakan suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu, polineurutis akut, paralisis asenden Landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan berbagai gangguan fungi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf primer, final common pathway, untuk gerakan motorik juga terlibat.
Usaha untuk memisahkan agen penyebab infeksi tidak berhasil dan penyebabnya tidak diketahui. Namun telah diketaui bahwa GBS bukan penyakit herediter atau menular. Walaupun mungkin tidak terdapat peristirwa pencetus, anamnesis pasien yang lengkap sering kali memperlihatkan suatu penyakit virus biasa yang terjadi 1 hingga 3 minggu sebelum awitan kelemahan motorik. Jenis penyakit lain yang mendahului sidrom tersebut adalah infeksi pernapasan ringan atau infeksi GI. Pembedahan, imunisasi, penyakit Hodgkin, atau limfoma lain, dan lupus eritomatosus. Keadaan yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus (virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan amkrofag akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam serat sensoris atau “cross-talk” listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala negatif adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli, mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan. Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI, yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
4. Manifestasi klinik GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang mennjukan paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungi autonom yang serign terjadi dan sering memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya sistem saraf simapatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah ( hepertensi transien, hipotensi ortostatik), dan gangguan fasomotor lainnya yang berfariasi. Keadaan ini juga menyebabkan nyeri berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Sering kali pasien menunjukan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan bentuk parestesia.
Kebanyakan pasien mengalami pemulihan penuh beberapa bulan sampai satu tahun, tetapi sekitar 10% menetap dengan residu ketidakmampuan.
Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll)
Gejala-gejala awal ini bisa hilang dalam tempo waktu beberapa minggu, penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya: kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit lemah, dan kemudian dokter menemukan syaraf refleks lengan telah hilang fungsi.
Gejala klinis lainnya yaitu antara lain sebagai berikut :
1. kelumpuhan
manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower motor newron. Pada sebagian besar kellumphan di mulai dari kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
2 gangguan sensibilitas
parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di kenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik
3. saraf kranilis
yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena paralis dan laringeus
4. gangguan fungsi otonom
gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah ( facial flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu.
5. kegagalan pernapasan
kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita
6. papiledema
kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan pasti di duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
5. pemeriksaan diagnostik GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Pungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa hari).
Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahat dan perkembangan sinrdom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Fotorontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
6. Penatalaksanaan GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)
Guillain Barre Syndrom (GBS) dipertimbangkan sebagai kearuratan medis dan pasien diatasi di unit perwatan intensif. Pasien yang mengalami masalah pernapasan yang memerlukan ventilator, kadang-kadang untuk periode yang lama. Plasmaferesis (perubahan plasma) yang menyebabkan reduksi antibiotik kedalam sirkulasi sementara, yang dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien dan dimielinasi. Diperlukan pemantauan EKG kontinu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan atau ritme jantung. Distrimia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal autonom yang di obati dengan propanolol untuk mencegah takikardi dan hipertensi. Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan endotrakheal dan terapi fisik.
Sampai saat ini belum ada pengotan spesifik untuk GBS, pengobatan terutama secara simtomatis, tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.
a. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama di tujukan pada perawatan sulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut,faring dan trakea.infeksi paru dan saluaran kencing harus segera di obati.
Respirasi di awasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas dan gas darah yang menunjukan permulaan kegagalan pernapasan. Setiap ada tanda kegagalan pernapasan maka penderita harus segera di bantu dengan pernapasan buatan. Jika pernapasan buatan di perlukan untuk waktu yang lama maka trakeotomi harus di kerjakan fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki lumpuh mencegah deep voin trombosis spientmungkin di perlukan untuk mempertahankan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi di cegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonfaselen maka fisioterapi aktif di mulai untuk melati dan meningkatkan kekuatan otot.
b. pertukaran plasma
pertukaran plasma ( plasma excange) bermanfaat bila di kerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang di keluarkan per excange adalah 40-50 ml/kg. dalam waktu 7-14 hari x excahange
c. kortikostiroid
walaupun telah melewati 4 dekade pemakaian kortikostiroid pada GBS masih di ragukan manfaatnya. Namun demikian bahwa pemakaian kortikostiroid pada vase dini penyakit mungkin bermanfaat
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang penderita meninggal oleh karena kegagalan pernasan. Sekarang ini berkisar antara 2-10%,deangan penyebab kematian, oleh karena kegagalan pernasan, ganggan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita 60-80% sembuh secara sempurna dalam waktu 6 bulan. Sebagian kecil 7-22% sembuh dalam waktu 21 bulan dengan motorik ringan dan atrofi otot kecil di tangan dan di kaki. Kira- kira 3-5% penderita mengalami relaps

  1. KONSEP KEPERAWATAN GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)


DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
Aktifitas dan istirahat
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris, yang biasanya dimulai pada ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.
Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : kelemahan otot, paralisis flaksit (simetris)
Cara berjalan tidak mantap
Sirkulasi
Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi atau hipotensi)
Distrimia, takikardia/bradikardia
Wajah kemerahan, diaforesis
Integritras ago
Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi
Tanda : tampak takut dan bingung
Eliminasi
Gejala : adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen
Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter
Makanan/cairan
Gejala : kesilitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : gangguan pada refleks menelan
Neurosensori
Gejala : kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terius naik (distribusi stoking atau sarung tangan)
Perubahan rasa terhadap posisi tubuh, fibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan
Tanda : hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam
Hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan
Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf kranial),
kehilangan kemampuan untuk berbicara
Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hipersensitif terhadap sentuhan.
Pernapasan
Gejala : kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : pernapasan perut, menggunakan otot bantu napas, apnea. Penurunan atau hilangnya bunyi napas
Menurunnya kapasitas vital paru
Pucat/sianosis
Gangguan refleks menelan/batuk
Keamanan
Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti infeksi saluran pernapasan atas) kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda serangan
Adanya riwayat terkena herpezoster, sitomegalo virus
Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi (sangat tergantung pada suhu lingkungan)
Penurunan kekuatan/tonus otot paralisis atau parestesia
Interaksi sosial
Tanda : kehilangan kemampuan untk berbicara atau komunikasi
Penyuluhan pembelajaran
Gejala : penyakit sebelumnya (infeksi saluran napas atas, gastroentritis) vaksinasi ( campak. Polio); keadaan kronis ( lupus erotematosus ), penyakit hodgkin/proses keganasan. Pembedahan/anestesia umum, trauma
Pertimbangan
DRG menunjukan berapa lama perawatan : 6 hari
Rencana pemulangan : mungkin pasien memerlukan bantuan menganai transportasi, penyiapan makanan, perawatan diri, dan kewajiban pekerjaan rumah. Mungkin perlu memerlukan perubahan pada teteruan dan bentuk rumah, pemindahan pusat rehabilitasi.


DIAGNOSA, TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN. GBS (GUILLAIN BARRE SYNDROM)

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot pernapasan
Tujuan/kriteria hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas efektif
Intervensi
Mandiri
a. Pantau frekuensi, kedalaman daln kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.
R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik
b. Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon
R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat berbicara.
R/ : merupakan inikator yang baik terhadap gangguan fungsi pernapasan/menurunnya kapasitas paru
d. Auskultasi bunyi napas, cata tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia)
e. Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi sekret
Kolaborasi
f. Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur
R/ : menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan untuk/keefektifan dari intervensi
g. Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen
R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
h. Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural
R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret dan meningkatkan ekspansi alveoili paru.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi dan transmisi
Tujuan/kriteria hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori, mempertahankan mental atau orentasi umumdan mengidentifikasi intervensi meminimalkan kerusakan/ komlikasi sensori.
Intervensi
Mandiri
a. pantau status neurologis secara periodik seperti kemampuan berespon terhadap perintah yang sederhana dan berspon terhadap stimulasi nyeri
R/ : perkembangan dan munculnya kembali tanda dan gejala mungkin sangat bervariasi. Perkembangan tersebut seringcukup cepat dan mungkin memuncak dalam beberapa hari/minggu.proses penyembuhan di mulai 2-4 minggu setelah proses perkembangan penyakit dan berakhir dan kebanyakan secara perlahan.
b. berikan lingkungan yang aman( penghalang tempat tidur proteksi terhadap trauma termal)
R/ : kehilangan sensasi dan kontrol motorik menjadikan pasien perhatian utama dari pemberi asuhan yang harus mempertahankan lingkungan terapeutik dan mencegah trauma.
c. berikan kesempatan untuk istrahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan dan berikan aktivitas lain yang sesuai pada batas kemampuan pasien.
R/ : menurunkan stimulus berlebihan dan dapat meningkatkan kecemasan besar dan meminimalkan kemampuan koping
d. orientasikan kembali pasien pada lingkungan sesuai kebutuhan
R/ : membantu menurunkan kecemasan dan terutama sangat bermanfaat jika terjadi gangguan penglihatan.
e. berikan stimulasi sensori yang sesuai, meliputi suara musik yang lembut, televisi( berita atau pertunjukan )
R/ : pasien (biasanya sadar ) merasa terisolasi total karena terjadi paralisis dan selama fase penyembuhan
f. sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien dan untuk memelihara keterikatan dengan apa yang terjadi pada keluarga
R/ : membantu orang terdekat, merasakan mask di dalam hidup pasien ( menurunkan perasaan tidak berdaya/ tidak ada harapan) dan menurunkan kecemasan pasien mengenai keluarga selama perpisahan tersebut
kolaborasi
g. rujuk keberbagai sumber untuk membantu terapi wicara
R/ : meningkatkan proses penyembuhan/meminimalkan gejala sisa penurunan neurologis
i. bantu melakukan plasmaferesis sesuai kebutuhan
R/ : penanganan ini membuang imunoglobulin, komplemen, vibrinogen dan protein fase akut yang menimbulkan serangan penyakit dan depresi pernapasan pada pasien
j. berikan obat sesuai kebutuhan, seperti : gammma globin dosis tinggi melalui intra vena.
R/ : hal ini dapat meningkatkan respon antibodi dalam keadaan penyakit yang berat
3. perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan disfungsi sistem saraf autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena
Tujuan/kriteria hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak ada.
Intervensi
Mandiri
a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi.
R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer.
b.pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang menyebabkab henti jantung.
c. pantau suhu tubuh.
R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu ( seperti ketidakmampuan berkeringat).
d. ubah posisi pasien secara teratur
R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia
Kolaborasi
e. berikan pengobatan :
- cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi
R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi.
- beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pendek
R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi outo
- heparing
R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
Intervensi
Mandiri
a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5
R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan pasien
b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman
R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal
R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi
d. lakukan latihan rentang gerak pasif
R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi.
Kolaborasi
e. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI
Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi
Intervensi
Mandiri
a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur
R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya
b. auskultasi bising usus, e4valuasi adanya distensi abdomen
R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi
c. catat masukan kalori setiap hari
R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya
d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair
R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi
e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan
R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri
f. timbang berat badan setiap hari
R/ : mengkaji keefektifan aturan diet
Kolaborasi
g. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati
R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi.
f. pasang /pertahankan selang NG.
R/ dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan mengalami gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional
Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
Intervensi
Mandiri
a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur.
R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan.
b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten
R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan
c. berikan bentuk komunikasi alternatef jika di perlukan
R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi
d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyebuhan /perbaikan
Kolaborasi
e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat
R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakkan aktivitas dan perlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap didri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
7. nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler (parestesia, disestesia)
Tujuan/kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi
Mandiri
a. evaluasi derajat nyeri/rasa tidak nyaman denagan menggunakan skala 0-10
R/ : meenganjurkan pasien untuk “ melakolisasi/ mengetahui kuantitas” nyeri yang menunjukan adanya perubahan
b. anjurkan pasien untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang di rasakan
R/ : menurunkan perasaan terisolasi, marah dan cemas yang dapat meningkatkan nyeri tersebut
c. lakukan perubahan posisi secara teratur
R/ : membantu menghilangkan kelelahan dan ketegangan otot
d. berikan latihan rentang gerak secara pasif
R/ : menurunkan kekuan pada sendi
e. anjurkan untuk menggunakan tehnik relaksasi, seperti visualisasi( menonton), latiahan relaksasi yang berkembang dan bimbingan imajinasi
f. R/ : memfokskan kemali secara langsung dari perhatian/ persepsi dan meningkatkan koping yang dapat membantu menghilangkan rasa nyeri.
Kolaborasi
g. berikan obat analgetik sesuai kebutuhan. Hindari penggunaan narkotik
R/ : untuk menghilangkan rasa nyeri ketika metode lain yang telah di coba tidak memberikan hasil yang memuaskan. Narkotik( kecuali kodein yang memiliki efek yang lebih keci) harus di hindari jika masih mungkin karena obat-obat tersebut dapat menekan pernapasan dan mempunyai efek samping terhadap saluran pencernaan
8. kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengingat, keterbatasan kognitif
Tujuan/kriteria hasil :
Pasien tidak bertanya-tanya tentang penyakitnya
Intervensi
Mandiri
a. tentukan pengetahuan pasien dan kemampuan untuk berperan serta dalam proses rehabilitasi
R/ : mempengaruhi pilihan terhadp intervensi yang akan di lakukan
b. tinjau kemmali pengetahuan pasien tentang penyakit dan prognosisnya
R/ : pengetahuan dasar merupakan suatu hal yang penting untuk membuat pilihan informasi dan berpatisipasi dalam upya rehabilitasi
c. anjurka untuk mengungkapkan apa yang di alami, bersosialisasi dan meningkatkan kemandiriannya
R/ : meningkatkan kembali pada perasaan normal dan perkembangan hidupnya pada situasi yang ada
d. identifikasi tindakan yang aman untuk menemukan defeswit sensori-motorik secara individual
R/ : menurunkan resiko terjadinya trauma/ menurukan resiko komplikasi yang sebenarnya masih dapat di cegah

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta
Kembali Ke Atas Go down
http://jovian.yours.tv
 
Asuhan Keperawatan dan Laporan Pendahuluan Sindrom Guillain Barre (SGB / GBS)
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
 :: E-ducation :: Kumpulan ASKEP dan LP-
Navigasi: